dEw iTu eMbun...

Minggu, 30 Agustus 2009
ARSITEKTUR DEKONSTRUKSI
Sejarah desain dalam arsitektur dapat dilihat sebagai perjalanan pergerakan waktu yang menarik dan memiliki pengaruh tersendiri pada masanya. Pada dasarnya, setiap desain baru yang muncul berdasarkan akibat, perkembangan, penyangkalan maupun penolakan dari apa yang sudah desain yang sudah ada. Munculnya desain-desain itu sering kali merupakan terobosan baru seorang arsitek yang mencoba ‘jalur lain’ yang merupakan jawaban atas keinginan untuk merealisasikan impian kreativitasnya.
Dekonstruksi adalah aliran arsitektur yang muncul sekitar 1970 dan menggantikan tren Post-Modern pada saat itu. Dekonstruksi berarti membongkar, pembongkaran disini berarti menata ulang desain lama dengan konsep dasar yang sama sekali baru. Dekonstruksi merupakan kata untuk memperjelas hubungan Post-Modern dengan Post-Strukturalis. Kata “Dekonstruksi” dipetik dari buku Jacques Derrida, De La Grammatologie (1967), seorang ahli Post-Strukturalis. Sasaran Derrida adalah mendekonstruksikan cara berpikir metafisika fenomenologi tentang ada (being) dan kehadiran (presence). Dari latar belakang di atas dapat digambarkan bahwa pandangan dekonstruksi lahir dari suatu atmosfir yang berlandaskan pada konsep “filosofi-anti” yang merupakan paradigma konseptual untuk menelusuri pemahaman istilah dekonstruksi dalam arsitektur, yaitu :

• Logo Sentris, tidak adanya metaphora titik awal dan titik akhir dari konfigurasi denah menyebabkan sebuah karya berkesan “tidak selesai”. Konfigurasi ini mampu memberi peluang bagi penikmat untuk melengkapi imajinasinya.

• Anti-Sintesis, konsep anti-sintesis mengandung penolakan terhadap pandangan sementara bahwa arsitektur adalah sintesis.

• Anti Fungsional, dekonstruksi mendasarkan paham bahwa antara bentuk (form) dan fungsi (function) bukan merupakan hubungan yang dependent melainkan lebih pada hubungan independent yang sejalan dengan konsep disjunctive di atas.

• Anti Order, Order akan menghasilkan ekspresi keutuhan dan kestabilan. Order dalam arsitektur yang berakar pada arsitektur klasik seperti unity, balance, dan harmony, akan memberi kecenderungan pada pembentukan space yang figuratif. Arsitektur dekonstruksi bukan mengarah pada kecenderungan ruang dan obyek yang figuratif karena arsitektur yang figuratif akan memperkuat keabsolutan order.

Sejak pameran mengenai Arsitektur Dekonstruksi yang diadakan di Museum Seni Modern di New York pada bulan Juli dan Agustus 1988, Dekonstruksi memberikan angin segar bagi dunia Arsitektur hingga dapat meneruskan atau menggantikan gaya Internasional (International Style), yang dalam tahun tigapuluhan juga diperkenalkan dalam Museum yang sama. Tentu ini merupakan sukses besar bagi para dekonstruktivis yang ikut pameran itu, yaitu : Frank O. Gehry, Daniel Libeskind, Ren Koolhaas, Peter Eisenman, Zaha M. Hadid, Coop Himmelblau dan Bernard Tschumi. Aliran baru pada masanya ini merupakan ‘bahasa ekstrim’ di dalam modernism dan menekankan pada prinsip sesuatu yang diekspresikan secara berlebihan dari motif-motif yang sudah familiar sebelumnya. Dekonstruksi juga berusaha mencari dan menampilkan bentuk-bentuk spektakuler. Motto dari dekonstruksi adalah “Bentuk mengikuti fantasi (Form follows fantasy)”. Dekonstruksi merupakan sebuah konsep “mengganggu kesempurnaan (disturbed perfection)”, contohnya seperti tumpukan bata atau sebuah model mainan konstruksi yang kemudian diruntuhkan di atas meja. Ini menghasilkan model abstrak, untaian dari elemen-elemen, dengan ukuran yang tidak teratur, struktur yang kacau, terlihat lemah dimana setiap saat bisa saja runtuh. Pada arsitektur dekonstruksi yang ditonjolkan adalah geometri 3-D bukan dari hasil proyeksi 2-D sehingga muncul kesan miring dan semrawut yang menunjuk kepada kejujuran yang sejujur-jujurnya. Penggunakan warna sebagai aksen juga ditonjolkan dalam komposisi arsitektur dekonstruksi sedangkan penggunaan tekstur kurang berperan. Bangunan yang menggunakan langgam arsitektur dekonstruksi memiliki tampilan yang terkesan ‘tidak masuk akal’, dan memiliki bentukan abstrak yang kontras melalui permainan bidang dan garis yang simpang siur. Ketidakteraturan dan melawan prinsip-prinsip konstruksi dari bangunan merupakan ciri yang khas dari arsitektur Dekonstruksi.

Arsitektur dekonstruksi juga telah menggariskan beberapa prinsip penting mengenai arsitektur:
1. Tidak ada yang absolut dalam arsitektur, sehingga tidak ada satu langgam yang dianggap terbaik sehingga semuanya memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang.
2. Tidak ada pen’dewa’an tokoh dalam arsitektur sehingga tidak timbul kecenderungan pengulangan ciri antara arsitek satu dan yang lain hanya karena arsitek yang satu dianggap dewa yang segala macam karyanya harus ditiru.
3. Dominasi pandangan dan nilai absolut dalam arsitektur harus diakhiri, sehingga perkembangan arsitektur selanjutnya harus mengarah kepada keragaman pandangan dan tata nilai.
4. Pengutamaan indera penglihatan sebagai tolak ukur keberhasilan suatu karya dalam arsitektur harus diakhiri. Potensi indera lain harus dapat dimanfaatkan pula secara seimbang.
Selain prinsip-prinsip di atas, ada juga empat prinsipal dekonstruksi yang dapat ditransformasikan dan diaplikasikan melalui arsitektur yang merupakan buah pikir Derrida dan pengembangan dari Michael Benedikt, yaitu :

1. DIFFERENCE

Difference menurut Derrida bukanlah suatu konsep atau kata, meminjamkan dari pengertian Culler tentang definisi difference secara harfiah, Benedikt mendefinisikannya ke dalam tiga hal :
Difference
Sistem perbedaan-perbedaan universal yaitu, pengaturan ruang/jarak/spasi (spacing), dan perbedaan-perbedaan antara sesuatu/dua hal (distinctions between things); perhatiannya bukan terhadap kosakata tersebut, melainkan lebih kepada dimensi di sepanjang pokok soal dalam pembedaan koskata tersebut untuk saling memisahkan diri dan saling memunculkan.
Deferral
Proses dari meneruskan (passing along); menyerahkan (giving over); menunda atau menangguhkan (postponing); pen-skors-an (suspension); mengulur (protaction) dan sebuah jarak dalam waktu (a ‘spacing’ in time).
Differing
Pengertian berbeda yang ditunjukkan dengan tidak sependapat (disagreeing); tidak sepakat (dissenting) atau bahkan penyembunyian (dissembling).
Selain memiliki pengertian diatas, difference juga sangat dekat artinya dengan kata Jepang ma yang artinya interval in space, interval in time dan moment/place/occasion. Pengertian dari ma ini lebih dekat pada hubungannya dengan penundaan waktu atau jarak waktu antara dua hal.
Mendefinisikan seluruh pengertian tentang difference tersebut ke dalam satu pengertian tidak mudah. Dengan demikian, Benedikt memusatkan perhatiannya pada kata difference ini dalam tiga hal pokok yaitu, sistem universal kata difference dengan penekanan tidak pada arti katanya, proses pembedaannya dan pengertian yang ditimbulkan akibat pembedaan tersebut.

2. HIERARCHY REVERSAL

Segala sesuatu yang ada di dunia merupakan pasangan sebab akibat. Pasangan-pasangan ini berlaku di semua bidang, misalnya: di luar - di dalam, siang-malam, baik-buruk, benar-salah dan juga keberadaan-ketiadaan. Hubungan seperti ini disebut hubungan vertikal atau hirarkis. Benedikt melakukan dekonstruksi terhadap hirarki ini, khususnya untuk menyerang adanya hirarki antara ‘presence-absence’. Menurutnya, presence tidaklah demikian sederhana. Kehadiran presence tidak akan dapat berarti tanpa disadarinya adanya absence.

3. MARGINALITY DAN CENTRALITY

Marginalitas dan sentralitas merupakan masalah titik ‘pokok’ yang dapat digunakan untuk menunjuk pada pengertian ‘penting’ dan ‘tidak penting’. Pengertian kedua istilah tersebut adalah sebagai berikut :
Marginality/ Marginalitas
Menunjukkan kedekatannya dengan batas-batas, pinggiran batas luar dan perbatasan terhadap apa yang ada di dalam dan apa yang ada di luar. Kata ‘margin’ mempunyai arah yang dibangun menuju ke pusat (central). Margin sangat dekat dengan ambang batas, tetapi bukan ambang batas itu sendiri.
Centrality/ Sentralitas
Menyatakan secara tidak langsung sebuah kedalaman dan pusat (heart), tempat makna/ arti terkonsentrasi dan merupakan ‘gravitasi’.
Dengan melihat central dan marginal berpindah tempat dengan ditukar atau dipertentangkan atau ditindas/ditahan secara dekonstruksi, maka mereka menjadi semakin menarik, dan dengan cara demikianlah semuanya dapat dilihat secara lebih jelas.

4. ITERABILITY DAN MEANING

Untuk memahami iterability dan meaning adalah terkait dengan konsep Derrida tentang ‘tulisan’ atau ‘teks’. Dalam ilmu bahasa, suatu kata atau tanda memperoleh maknanya dalam suatu proses berulang pada konsteks yang berbeda. Ini berarti bahwa ‘kata’ tergantung pada interability, dimana suatu kata adalah tergantung pada bisa tidaknya diulang-ulang. Dengan adanya perulangan ini merupakan pertanda adanya ‘meaning’.
Dalam arsitektur, penggunaan unsur arsitektural secara berulang-ulang akan membuka pemahaman yang lebih baik terhadap makna yang dimaksudkannya. Unsur arsitektur tersebut dapat berupa; batu-bata, jendela, pintu, kolom sampai bentukan geometri dan hubungan abstrak formalnya.

Salah satu contoh bangunan yang mengusung dekonstruksi adalah The Vila Olimpica Hotel Arts karya Frank O. Gehry yang berlokasi di Olympic Village, Barcelona, Spanyol ini memiliki luas 150.000 square feet. Dengan waktu pelaksanaan yang cukup lama (1989-1992), bangunan ini menjadi sebuah karya yang unik. Dengan menampilkan bentukan – bentukan trimatra, bangunan yang merupakan transformasi dari bentuk ikan yang direalisasikan dalam sebuah konstruksi sepanjang 54 meter dengan ketinggian 35 meter. Dengan bentukan dan dimensi seperti ini, bangunan ini menjadi landmark bagi daerah sekitar. Frank Gehry, di dalam mengkomposisikan ruang dan bidang tidak nampak prinsip-prinsip order dari arsitektur klasik yang digunakan seperti: unity, harmony, dan balance. Secara keseluruhan bangunan meninggalkan citra sebagai suatu komposisi yang retak, terpunting, dan berkesan belum selesai.

Pembacaan dekonstruksi pada rumah tradisional Toraja (Tongkonan)

Rumah asli Toraja disebut Tongkonan, berasal dari kata ‘tongkon‘ yang berarti ‘duduk bersama-sama‘. Tongkonan selalu dibuat menghadap kearah utara, yang dianggap sebagai sumber kehidupan.
Tongkonan berupa rumah panggung dari kayu, dimana kolong di bawah rumah biasanya dipakai sebagai kandang kerbau. Atap tongkonan berbentuk perahu, yang melambangkan asal-usul orang Toraja yang tiba di Sulawesi dengan naik perahu dari Cina. Di bagian depan rumah, di bawah atap yang menjulang tinggi, dipasang tanduk-tanduk kerbau. Jumlah tanduk kerbau ini melambangkan jumlah upacara penguburan yang pernah dilakukan oleh keluarga pemilik tongkonan. Di sisi kiri rumah (menghadap ke arah barat) dipasang rahang kerbau yang pernah di sembelih, sedangkan di sisi kanan (menghadap ke arah timur) dipasang rahang babi.

Konteks difference pada Tongkonan:

Konsep difference Derrida terlihat dari metafisikanya atap perahu pada tongkonan, dimana dengan pemaknaan bahwa tanda menghadirkan sesuatu yang tidak hadir. Masyarakat Toraja sangat menghormati leluhur mereka dan mereka menganggap bahwa perihal ‘kematian’ tak akan terlepas dari kehidupan mereka. Itu terlihat dari rancangan atap Tongkonan yang menyerupai perahu yang konon dipakai nenek moyang mereka dari Cina untuk berlayar. Jadi disini mereka ingin menghadirkan perahu tersebut sebagai wujud penghormatan mereka terhadap nenek moyang mereka. Bentuk perahu disini lebih sebagai penundaan atau sebuah simbolisasi untuk kehadiran, bukan perealisasian bentuk perahu secara utuh.

Konteks Hirarki Riversal pada Tongkonan:

Pembalikan hirarki pada Tongkonan ini ialah pada atap perahu Tongkonan. Dimana perahu yang semestinya berada di atas air, namun disini perahu tersebut terletak di darat dan dibagian atas sebagai atap.
Konteks pusat dan marginal pada Tongkonan:
Marginal adalah yang berada di batas tepian, di luar (out side), karena dianggap tidak penting. Sedangkan pusat adalah bagian terdalam yang menjadi daya tarik, makna dimana setiap gerakan berasal, dan merupakan pusat pergerakan dari marginal. Dalam rumah Tongkonan, pusatnya adalah bagian rumah dan atap perahunya yang menjadi ciri khas rumah tradisional Toraja, dan marginalnya adalah tiang-tiang panggung penyangga rumah Tongkonan tersebut sehingga memberikan kesan tinggi dan agung pada rumah Tongkonan tersebut. Selain itu tiang-tiang penyangga juga sebagai pelindung terhadap pusatnya (bagian rumah dan atap).

Konteks iterabilitas dan makna:

Iterabilitas berarti pengulangan. Jadi perulangan akan membuka pemahaman yang lebih baik terhadap suatu makna yang dimaksudkan dari sebuah karya arsitektur. Dalam rumah tongkonan ini terdapat perulangan pada bagian-bagian tiang panggung sehingga memberikan filosofi bahwa rumah tersebut tidak akan berdiri kokoh tanpa banyak tiang yang menyangganya, artinya masyarakat Toraja selalu diingatkan untuk bersatu, gotong royong, dan saling tolong menolong. (dew).

Label:

posted by dEw @ 20.48  
1 Comments:
Posting Komentar
<< Home
 
dEw itu embun...yaph btuL skaLii...silakan buka kamus English-Indonesia and u'll find tat word ^^
About Me

Name: dEw
Home: BaLi da beauTifuL isLand
About Me: I'm shopaholic... I'm cuTe (he3...bo0ng) dmen maem... dmen es krim cokLad... dmen bintang, Langit biRu, n ujaN... dMen gratisaN (he3...) lg brusaha mncapai smwa obsesi2quu...
See my complete profile
Previous Post
Archives
Shoutbox

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Duis ligula lorem, consequat eget, tristique nec, auctor quis, purus. Vivamus ut sem. Fusce aliquam nunc vitae purus.

Links
  • link 1
  • link 2
  • link 3
  • link 4
Powered by

Free Blogger Templates

BLOGGER