dEw iTu eMbun...

Selasa, 16 Februari 2010
Ketika Cinta Pertama Itu Kembali
Kisah cinta ini mungkin kedengaran seperti cerita-cerita di sinetron, tapi yah…ini kisah cinta yang benar-benar ku alami, hingga detik ini saja aku masih belum bisa 100% percaya. Cerita ini berawal dari 5 tahun lalu, kira-kira tahun 2004, ketika aku masih duduk dibangku SMA.
“Nah, berhubung kalian berdua yang terpilih jadi ketua kelas dan wakil, jadi kalian harus kerjasama dan kompak ya, biar kelas kita bisa menang di lomba-lomba antar kelas selama MOS ini”, ujar instructor Widi, kakak Osis pendamping kelas kami selama Masa Orientasi Siswa di awal penerimaan siswa baru di sekolah tersebut. “Iya kak”, jawab kami serempak. Sejenak aku melirik sosok cowok disebelahku yang berhasil menyabet predikat ketua kelas gara-gara berhasil mengungguliku dengan beberapa poin. Hmm…biasa aja sih. Postur berisi, tidak terlalu tinggi, senyum tebar pesona yang menyebalkan, dan oOo…sepasang tatapan mata yang meremehkan. Namanya Gara. “Huff, awas aja kalau kamu cari gara-gara denganku”, gumamku kesal. Dan dimulailah hari-hari MOS yang berat…rat…rat.

Singkat cerita, hari-hari MOS yang berat itu berakhir juga dengan acara perkemahan. Ketika malam tiba, aku dan teman-teman berkumpul mengelilingi api unggun di kavling perkemahan kami. Menyanyi dengan diiringi petikan gitar dari Gara. Aku baru tahu kalau ternyata Gara punya bakat bermusik. Ku akui suaranya yang merdu dan jemarinya yang lihai memainkan dawai-dawai gitar itu, cukup membuat para wanita terpesona. Sesaat Gara menatap mataku, bernyanyi lirih dengan senyum khasnya, “cinta itu sayang bukan cium dan pelukan…hanyalah kesetiaan, itu kau tak punya…itu kau tak punya…”, sepetik lagu yang dipopulerkan Audy yang sekejap saja mampu membuat cewek-cewek melting. “Satu lagu buat kamu Dee…Teringat disaat kita tertawa bersama, ceritakan semua tentang kita…”, lagu Semua Tentang Kita Peterpan yang dinyanyikan spesial untukku kontan membuatku tersentak ditengah-tengah suitan teman-teman yang sahut menyahut. Aku hanya tersipu malu. Takut disangka ke-GR-an, ku palingkan wajah, berusaha melupakan senyuman Gara yang sulit kuakui telah membuatku ikut-ikutan meleleh. “Fiuhh…ayo Dee..jangan sampai jatuh cinta sama cowok dengan tatapan meremehkan itu…jangan sampai…”, ucapku dalam hati. Jujur, aku tipe orang yang gampang untuk jatuh cinta, sehingga aku seringkali patah hati karena menyalahaartikan perhatian-perhatian kecil dari orang-orang yang kusukai. Dan aku tidak mau kejadian itu terulang lagi. Aku tidak mau jatuh cinta sama Gara. Aku mau fokus belajar di masa-masa SMA ini.

“Akhirnya aku pakai seragam putih abu-abu juga”, gumamku sambil mematut diri di depan cermin. Sekarang aku sudah resmi menjadi anak SMA. Tapiii…aku masih jadi wakil ketua kelas, Gara ketua kelas, dan otomatis kita berada dalam satu kelas. Oh no! Bagaimana aku bisa melupakan efek senyuman maut Gara kalau aku terus-terusan harus mengurus segala urusan kelas bersama dia.
Dan ternyata, perkiraanku tidak salah. Semakin sering aku bersama Gara, perlahan tapi pasti, perasaan sukaku mulai tumbuh. Aku hanya berani memandangnya dari jauh. Melihatnya menebarkan senyum mautnya pada setiap kaum hawa. Mencoba mengirimi sms, tapi Gara hanya membalas seperlunya. Aku mencoba memberikan sinyal lampu hijau, tapi Gara tampaknya tidak menyadarinya. Aku bingung, apa Gara benar-benar tidak menyadarinya, atau aku yang bertepuk sebelah tangan? Aku mencoba mendekati Gara lagi, mengajaknya mengobrol lebih banyak, membuat dia tertawa dengan banyolanku yang mungkin sebenarnya tidak lucu hanya untuk meyakinkan diriku akan perasaan Gara padaku. Siang hari itu aku mendapatkan jawabannya, pulang sekolah Gara terlihat gelisah menunggu seseorang di beranda kelas, lalu seorang teman sekelasku, Tyas, menghampirinya. Rupanya memang Tyas yang ditunggu Gara, karena Gara kemudian mengantarkan Tyas pulang. Dan aku yang sedari tadi menemani Gara menunggu Tyas, hanya bisa pura-pura tersenyum menanggapi pamitan mereka untuk pulang. Hanya bisa memandang punggung Gara yang semakin menjauh melewati lapangan basket. Aku bertepuk sebelah tangan lagi. Bedanya, perasaanku pada Gara berbeda dengan cinta-cinta monyet masa SMP dulu. Gara, kamu cinta pertamaku. Kamu nggak perlu tahu, biar aku aja yang menyimpan rasa ini.

Tiga bulan berlalu, aku masih memendam rasa itu tanpa berani mengatakannya. Aku tidak berani merusak kebahagiaan Gara yang sedang PDKT dengan Tyas. Aku cukup bahagia melihat Gara tersenyum. Suatu hari Gara datang ke sekolah tanpa seragam. Gara berpamitan pada teman-teman sekelas. Dia mendapatkan beasiswa untuk belajar di Singapura. Aku sedikit shock. Gara pergi begitu saja, meninggalkan aku dengan setumpuk urusan kelas yang harus kupikul sendiri dan kebimbangan yang tak terjawab. Tapi aku bodoh, aku hanya diam, hanya memandangi punggung Gara yang berjalan menjauh kearah gerbang sekolah, padahal aku menangis dalam hati. Aku kehilangan cinta pertamaku.

“Dee, inget maem ya”, pinta suara diseberang. “Okeii yank, love you”, jawabku riang, telpon kututup. Hei, aku Dee, seorang mahasiswi di salah satu perguruan tinggi di Bali. Yang barusan menelponku adalah pacarku, Satya. Lalu yang menjadi pertanyaan, apakah aku masih mengingat Gara, cinta pertamaku? No way! Siapa Gara? Hehe…sepertinya aku sudah melupakannya, itu sudah 5 tahun lalu. Banyak kejadian yang kulewati selama 5 tahun belakangan ini. Aku sudah berkali-kali gonta ganti pacar dan sudah berkali-kali tersakiti, hingga akhirnya aku menemukan belahan jiwaku, Satya. Aku sudah berpacaran selama 3,5 tahun dengannya, cukup lama bukan? Aku sangat bersyukur punya pacar yang baik, keluarga yang rukun, teman-teman kampus yang asik, how perfect life! Eiitt tunggu dulu…pacar yang baik? Sedikit flashback.
“Ngapain kamu kesini hah? Aku udah bilang gak usah kesini! Kamu bego ya gak ngerti omongan! Pulang sana!”, teriak Satya padaku di depan teman-temannya. Aku hanya bisa menangis melihatnya memarahiku di depan umum. “Aku minta maaf, aku cuma mau bikin surprise buat ulang tahunmu”, jawabku lirih sambil terisak. “Dan aku sudah bilang kamu gak perlu kesini! Punya kuping gak sih? Brengsek!”, suara Satya makin meninggi. Aku menangis makin menjadi-jadi. Antara malu, sedih, merasa bersalah, benci, semua campur aduk jadi satu. “Iya aku pulang sekarang!”, teriakku membalas teriakannya. Satya benar-benar keterlaluan. Aku hanya bermaksud baik memberinya surprise dengan memberanikan diriku untuk datang menemuinya sendiri ke Surabaya, di tempat dimana dia kuliah kini. Kita long distance relationship. Dulu kita teman sekelas waktu SMA, dan dia memilih untuk melanjutkan kuliahnya di kota Surabaya. Jadi, hari ini aku hanya ingin agar kedatanganku yang nekat ini menjadi kado terbaik untuk ulang tahunnya. Tapi apa yang terjadi? Satya malah membentak dan mengusirku di depan teman-temannya. Untung setelah ditenangkan teman-temannya, temperamental Satya mulai berkurang dan dia mengatakan khawatir kalau aku berangkat sendiri ke Surabaya. Satya minta maaf padaku. Tapi entah kenapa hatiku sudah sangat terluka. Ku maafkan Satya dengan sebuah anggukan dan senyuman tipis, meski hatiku memberontak untuk mengiyakannya.

Ya begitulah Satya, pacarku yang telah mendampingiku selama 3,5 tahun ini. Dia temperamental, emosian, over protektif, dan over posesif. Tak jarang kami bertengkar karena hal-hal sepele, Satya sangat suka mempermasalahkan hal-hal kecil. Katanya, hal-hal kecil akan menjadi besar kalau tidak dibicarakan. Lalu dia mulai mempermasalahkan kenapa aku suka memakai tanda seru ketika smsan, karena menurutnya tanda seru itu berarti marah, sebaiknya aku memakai titik 3 (…) ketika mengsmsnya, karena titik 3 (…) artinya mesra. Kalau ke teman-teman titik 2 (..), artinya biasa saja. What? Ya begitulah Satya, overposesifnya telah mengatur cara smsku, cara berpakaianku, dan mungkin hampir seluruh hidupku. Parahnya lagi, Satya sangat sering memutuskan aku ketika kami bertengkar, lalu keesokannya dia minta maaf dan mengajakku balik. Katanya, saat dia memutuskanku, dia seperti bombek-bombekan anak kecil yang tidak diberi permen, hanya sementara dan tidak serius. Aku selalu mau balikan dan menerima alasannya itu. At least yang aku tahu, aku mencintai dia, jadi aku harus bisa menerima dia apa adanya. Setahun belakangan ini kami makin sering bertengkar. Sejak kuliah ini, aku mulai mempunyai beberapa teman cowok yang akrab denganku (waktu SMA tak ada teman cowok yang berani dekat-dekat berteman denganku karena Satya selalu mengikutiku kemanapun aku pergi). Kami sering hangout ramai-ramai, ada teman cowok dan cewek, totalnya ada 9 orang termasuk aku. Mereka teman-teman terbaikku di bangku kuliah ini. Sayangnya Satya tidak pernah mau mengerti kalau teman-teman cowokku itu hanya sebatas teman biasa saja, Satya selalu cemburu dengan mereka. Setiap aku mau mengenalkan Satya pada mereka, Satya selalu menolak dan mengajukan pilihan-pilihan sulit, “Kamu kenalin aku ke mereka, maka kita putus”,ujarnya. Bagaimana aku bisa mengurangi rasa cemburu Satya pada mereka kalau syarat yang diajukan Satya selalu seperti itu. Setiap hangout dengan teman-temanku, Satya selalu menelponku, marah-marah, dan akhirnya aku menangis meminta maaf padanya. Teman-teman sudah hapal betul dengan kebiasaanku satu ini. Aku jadi tidak enak dengan mereka, sepertinya aku mengacaukan acara hangout mereka. Satya juga sering marah ketika aku berfoto ramai-ramai dengan teman-teman dan ternyata ada teman cowok disebelahku. Dipastikan aku akan menangis dan meminta maaf lagi. Suatu ketika aku menemukan foto Satya berdua dengan seorang cewek d FB, hatiku benar-benar panas, aku marah pada Satya, tapi Satya tidak terima, Satya bilang teman ceweknya itu yang keganjenan ikut-ikutan foto bareng dia, tapi begitu aku konfirmasi ke teman ceweknya itu (itupun setelah tanya nomor hp-nya kesana kesini, karena Satya mati-matian tidak mau memberitahu nomor cewek itu), teman ceweknya menjawab hal yang sebaliknya, Satya-lah yang mau berfoto dengannya, sedangkan Satya sendiri ngamuk tiap aku berfoto dengan teman-teman cowokku, itupun beramai-ramai, bukan berdua. Sekali lagi, begitulah Satya, dia selalu menuntutku banyak hal, padahal aku tidak pernah menuntut apa-apa darinya. Tapi sekali lagi, aku berusaha mencintai dia apa adanya. Mungkin aku sudah buta karena cinta. Dibalik keposesifannya, Satya adalah pacar yang baik dan romantis. Terkadang aku menemukan sebuket bunga mawar putih dengan kartu bertuliskan Satya Love Dee dikolong bangkuku ketika SMA. Saat menjelang Valentine, aku bertengkar dengan Satya, jadi kami tidak berbicara seharian, tapi keesokannya ada kurir ke sekolah yang mengantarkan sebuket mawar biru, boneka, dan sekotak coklat. Dan aku tahu siapa pengirimnya. Saat ulang tahunku tiba, aku kesal padanya karena dia tidak mengucapkan apapun padaku, tapi tiba-tiba saat tengah malam dia datang ke rumahku dengan sepotong kue lengkap dengan lilinnya, kado raksasa, dan sebuah nyanyian ulang tahun.
Hari ini aku sangat senang karena Satya berjanji pulang untuk liburan Lebaran tahun ini, tapi rasa senang itu lenyap tiba-tiba ketika Satya tiba-tiba membatalkannya karena sesuatu hal. Tapi hal itu juga yang berakibat fatal pada hubungan kami, aku marah-marah pada Satya karena kecewa akan pembatalan kepulangannya. Aku hanya ingin Satya sedikit mengalah, menenangkan aku yang masih emosi, sama seperti yang sering kulakukan kala dia marah. Tapi apa yang dilakukan Satya? Dia tidak terima dan ikut membentakku balik. Kami bertengkar hebat via telpon dan aku memutuskan Satya. Aku mencoba berpikir jernih, menghela nafas, dan kupikir aku salah sudah memutuskan Satya. Jadi aku mencoba mengajaknya balik keesokan harinya. “Maafin Dee ya…kemarin Dee emosi, jadi mutusin Satya, Dee cuma bombekan aja, sama kayak yang sering Satya lakuin ke Dee”, kataku terbata-bata. “Maaf Dee, aku nggak bisa balik sama kamu…”, jawab Satya diseberang. “Kenapa gak bisa? Aku aja selalu bisa nerima kamu…pliss Sat, aku sayang sama kamu, aku nggak bisa kehilangan kamu…”, nada suaraku mulai terdengar panik. “Maaf gak bisa Dee, aku butuh waktu…”, jawabnya lagi. Mendengar jawaban itu, handphoneku refleks terlepas dari genggaman dan meluncur jatuh. Aku pun jatuh terduduk dan menangis, tak kuasa menerima penolakan dari Satya.
Dua bulan berlalu sejak aku putus dengan Satya. Status kami putus, tapi Satya masih memperlakukan aku layaknya kita masih berpacaran. Saat kita putus ini, aku mulai membuka mata dan telinga, mulai mendengarkan lingkungan sekitar tentang pandangan mereka akan hubunganku dengan Satya selama ini. Melihat dari jauh dan mencerna nasihat-nasihat dari teman dan keluarga. Kusimpulkan, aku harus berpikir ulang bila tetap ingin balik dengan Satya. Selama ini hubungan kami tidak sehat dan terlalu sering saling menyakiti. Sudah dua kali Satya mengajak balik, tapi aku tolak dengan alasan aku masih ingin sendiri, aku perlu berpikir dan aku ingin fokus dengan kuliahku. Tapi aku masih memberi perhatian pada Satya, karena aku tidak ingin dia merasa kehilangan aku. Aku masih amat mencintainya. Suatu hari, aku menyadari kalau ulang tahun Satya semakin dekat, jadi aku memutuskan untuk memberi surprise lagi untuknya, aku akan membuat video testimony dari orang-orang terdekatnya. Disela-sela kuliahku yang super padat, aku menyempatkan waktu untuk menemui teman-teman SMA kami serta teman SMP Satya hanya untuk merekam ucapan ulang tahun dari mereka. Setelah video itu jadi, aku kirimkan beserta kado untuk Satya. Aku sangat berharap Satya tersenyum senang ketika memutar video itu. Dan aku berencana mengajak Satya balikan tepat pada hari ulang tahunnya. Namun yang terjadi sungguh diluar dugaan. Satya meneponku dan membentakku lagi. Dia mempertanyakan kenapa harus teman-teman itu yang kurekam, teman-teman cewek yang dulu sempat kucemburui, tapi ya karena hanya teman-teman itu yang bisa kutemui. Ini bisa dibicarakan baik-baik, tapi Satya tidak berubah. Aku sakit dengan reaksinya kali ini. Makin berlipat ganda ketika ingatan akan pengusiran yang dia lakukan di ulang tahunnya setahun yang lalu mulai muncul memenuhi kepalaku. Satu keputusan yang aku ambil hari itu, aku tidak akan kembali pada Satya. Jadi ingat kata-kata ibuku, “Kamu baru pacaran aja sudah dikekang-kekang, apalagi setelah jadi istri…cita-citamu kan jadi wanita karir, apa mau setelah nikah kamu cuma disuruh jadi ibu rumah tangga?ibu bapak aja nggak pernah ngelarang-ngelarang kamu, tapi pacarmu itu kebangetan…”. Waktu mendengar kata-kata ibu itu aku hanya melengos pergi dan menutup telinga, tapi kini, aku tahu apa maksud ibu. Maaf Satya, aku harus pergi.

Aku mulai mengurangi frekuensi berkomunikasi dengan Satya. Mulai membuka diri terhadap hal-hal baru. Dan disaat-saat seperti ini aku sangat bersyukur mempunyai banyak teman yang menyupportku. Suatu hari saat browsing tugas kuliah, aku juga login di FB dan aku menemukan satu nama yang tidak asing di telinga, Gara. Ya, itu Gara, cinta pertamaku waktu SMA. Belakangan aku dengar dia sudah punya pacar dan dia sudah kembali ke Indonesia. Aku benci Gara. Dulu dia seenaknya saja mempermainkan perasaanku. Tapi entah kenapa aku masih penasaran padanya, aku ingin tahu jawaban dari perlakuannya waktu lima tahun lalu padaku. Jadi aku memutuskan untuk mengajaknya chat. Dan itu semua hanya permulaan. Perlahan aku makin dekat dengan Gara, apalagi ternyata Gara telah putus dengan mantannya sejak enam bulan yang lalu. Aku kagum dengan sifatnya yang dewasa. “Gara, boleh aku tanya sesuatu?”, tanyaku ketika Gara menelpon. “Tanya aja Dee…”, sahutnya diseberang. “Lima tahun lalu apa kamu pernah punya perasaan sama aku, Ga?, tanyaku dengan sedikit cemas. “Pernah dee…”, jawabnya. “Tapi kenapa kamu gak milih aku?Kenapa harus dekat dengan Tyas trus pergi gitu aja ke Singapura?”, selaku. “Aku tahu aku salah Dee, aku minta maaf…waktu itu aku masih anak ingusan yang masih memilih yang terbaik buat diriku…aku salah lebih menilai penampilan luar dibanding hati…dan kini aku sangat bersyukur Tuhan telah membuka mataku, bahwa ternyata kamulah yang terbaik untukku”, kata Gara. “Maaf Ga, tapi aku nggak bisa ngasi kepastian apa-apa buat kamu, aku masih sayang sama mantan aku, Satya, dan aku nggak mau kamu cuma jadi pelampiasan aku”, sahutku lagi. “Iya Dee, aku bakal sabar nunggu kamu, aku akan berjuang buat kamu, dan aku pun bakal nerima apapun keputusanmu”, ucap Gara menenangkanku.
Suatu ketika aku merasa aku harus jujur pada Satya bahwa aku tak bisa kembali lagi padanya, bukan karena Gara yang tiba-tiba muncul dalam hidupku, tapi aku sudah cukup lelah dengan sifat childishnya yang semena-mena padaku apalagi setelah Satya dengan lancangnya menghack FB-ku, mengganti passwordku dan membaca semua isi inbox sehingga Satya tahu kalau aku sedang dekat dengan Gara. Selain itu Satya juga mengirim message pada Gara yang isinya tuduhan bahwa Gara telah merebut dan meracuni pikiranku, dan Satya mengancam Gara agar tidak dekat-dekat lagi denganku. Untung saja Gara menanggapinya dengan kepala dingin. Aku sangat marah, aku paling benci bila ada orang yang melanggar batas privasiku, dan Satya tahu itu, tapi dia tidak mempedulikannya. Aku cuma ingin putus dengan baik-baik dengan Satya, karena bagaimanapun Satya-lah yang selalu ada disamping aku selama 3,5 tahun ini, dan aku pernah sangat mencintainya. Tapi Satya tidak mau mengerti, tiba-tiba saja ketika dia mengetahui perihal kedekatanku dengan Gara, sifat Satya tiba-tiba berubah. Satya menjadi lembut, tidak pernah membentakku lagi, lebih sabar dan dia berusaha meyakinkanku jika dia sudah berubah. Aku bimbang. Aku berada di antara dua pilihan, antara Satya dan Gara. Aku mulai sayang dengan Gara, tapi aku juga nggak tega untuk meninggalkan Satya. Akhirnya aku memutuskan untuk tidak memilih keduanya. “Lebih baik aku sendiri”,pikirku. Gara menghargai keputusanku, dia hanya berpesan bahwa dalam hidup ini kita tidak bisa menyenangkan semua orang, saat kita mengambil suatu pilihan maka kita harus siap dengan segala konsekuensinya. Lain halnya dengan Satya, dia masih tetap berusaha meyakinkanku bahwa dia telah berubah. Aku hanya diam saja, heran, bagaimana mungkin Satya bisa berubah secepat ini, sedangkan dari dulu-dulu tiap ku beri kesempatan perbaiki diri setelah putus atau break, sifat dia tetap saja tidak berubah.

Aku menjalani hari-hariku seperti biasa. Masih dengan beban perasaan yang mengganjal. Aku mulai curhat pada orang-orang disekelilingku, orangtua, teman, saudara, dan apa kamu tahu apa jawaban mereka? Mereka sangat menyayangkan bila aku kembali pada Satya, karena jika Satya memang benar-benar sayang sama aku, dia nggak akan pernah mengumbar kata-kata putus itu dengan mudahnya, dan dia nggak akan pernah membuatku menangis. Aku tertegun. Berusaha memikirkan lagi semuanya dari awal. Aku sudah cukup sering memberi Satya kesempatan. Aku tahu aku harus memilih siapa sekarang. Aku memilih Gara. Mungkin terlalu cepat mengambil kesimpulan bahwa Gara adalah yang terbaik buat aku, tapi aku tahu aku tidak akan pernah menyesal dengan keputusan ini. Aku belajar satu hal dari semua ini. Kita tidak akan pernah jadi dewasa jika kita tidak berani memilih dan siap dengan konsekuensinya. Jika lima tahun lalu Gara cinta pertamaku, maka ku harap lima tahun mendatang Gara akan menjadi cinta terakhirku. Love you Gara…

Label:

posted by dEw @ 04.51  
0 Comments:
Posting Komentar
<< Home
 
dEw itu embun...yaph btuL skaLii...silakan buka kamus English-Indonesia and u'll find tat word ^^
About Me

Name: dEw
Home: BaLi da beauTifuL isLand
About Me: I'm shopaholic... I'm cuTe (he3...bo0ng) dmen maem... dmen es krim cokLad... dmen bintang, Langit biRu, n ujaN... dMen gratisaN (he3...) lg brusaha mncapai smwa obsesi2quu...
See my complete profile
Previous Post
Archives
Shoutbox

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Duis ligula lorem, consequat eget, tristique nec, auctor quis, purus. Vivamus ut sem. Fusce aliquam nunc vitae purus.

Links
  • link 1
  • link 2
  • link 3
  • link 4
Powered by

Free Blogger Templates

BLOGGER